BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat.
Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut
penghancur agama tetapi sebalikya ketika ia melaksanakan shalat dengan
sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama.
Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama
yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada
keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal,
maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/ kemudahan) sehingga
syariat tetap dapat ditunaikan.
Menjama’ dan mengqasar shalat adalah rukhshah atau keringanan yang
diberikan Allah kepada hambanya karena adanya kondisi yang menyulitkan. “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS.
al-Baqarah:185)
Rukhshah ini merupakan shodakoh dari Allah SWT yang dianjurkan untuk
diterima dengan penuh ketawadlu’an. Melalui makalah ini penulis mencoba untuk
menguraikan tentang sholat jama’ dan qashar.
B.
Rumusan
Masalah
Ø Bagaimana menjama’ shalat sebab hujan dan sakit
Ø Manakah
yang lebih utama antara qashar dan itmam
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahuui bagaimana cara menjama’
shalat sebab hujab dan sakit
2.
Mengetahui lebih utama mana antara
qashar dan itmam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Shalat jama’
Jama’ ialah mengumpulkan dua shalat dan dikerjakan dalam
satu waktu.
B. Hukum
Shalat jama’
Seseorang diperbolehkan menjama’
shalat bila bertepatan dengan kondisi-kondisi berikut.
1. Ketika
Berada Di Arafah dan Muzdalifah
Para ulama’ bersepakat bahwa
menjama’ shalat dzuhur dan ashar secara taqdim pada waktu dzuhur ketika berada
di Arafah, begitu pula antara shalat maghrib dan isya’ secara takhir di waktu
isya’ ketika berada di Muzdalifah hukumnya sunnah. Hal ini merujuk kepada
sunnah fi’liyah (perbuatan) Rasulullah.
2. Ketika
Berada Dalam Perjalanan (Safar)
Menurut jumhur ulama’, menjama’ dua
shalat ketika dalam perjalanan pada salah satu waktu dari kedua shalat
tersebut, hukumnya boleh, baik dilakukan sewaktu berhenti (dari perjalann)
maupun selagi dalam perjalanan.
Mu’adz meriwayatkan bahwasannya sewktu
perang Tabuk, Nabi Saw selalu menjama’ shalat dzuhur dan ashar bila
berangkatnya sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat dzuhur
dan menjamaknya dengan shalat ashar. Begitu pula shalat maghrib. Jika beliau
barangkat sesudah matahari tenggelam, beliau menjama’ shalat maghrib dengan
isya’, tetapi jika berangkat sebelum matahari tenggelam, beliau mengakhirkan
shalat maghrib sampai datang waktu isya’ dan menjamaknya dengan shalat isya’. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud
di dalam Sunan Abi Dawud, kitab ash-Shalah hal 12,13)
Kuraib meriwayatkan dari Ibnu Abbas
bahwa ia berkata, “ Inginkah aku ceritakan kepada kalian perihal shalat
Rasulullah saw, sewaktu dalam perjalanan?” Mereka menjawab, “ Iya,
ceritakanlah!” Ia berkata, “Sewaktu masih di rumah dan matahari telah
tergelincir, beliau menjama’ shalat dzuhur dengan ashar sebelum berangkat
(jama’ taqdim), tetapi jika matahari belum tergelincir, beliau berangkat dan
setelah waktu ashar masuk, belau berhenti dan menjama’ shalat dzuhur dengan
ashar (jama’ ta’khir).
Jika beliau masih berada di rumah
(belum bepergian) dan waktu maghrib sudah masuk, beliau menjama’ shlat maghrib
dengan isya’(jama’ taqdim), tetapi jika waktu maghrib belum masuk, beliau
berangkat dan ketika masuk waktu isya’, beliau pun berhenti untuk menjama’
shalat maghrib dengan isya’(jama’ ta’khir). (Al-fath ar-Rabbani,hlm 119)
C. Shalat
Yang Boleh di Jama’
shalat yang boleh di jama’ antara
lain ialah shalat Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, sedangkan
shalat Shubuh tidak boleh di jama’secara mutlak.
D. Macam-macam
Jama’
Terbagi menjadi dua macam yaitu jama’ taqdim dan
jama’ takhir.
1. Jama’
Taqdim
Ialah mengerjakan shalat di waktu
yang pertama. Semisal shalat dzuhur dengan ashar, maka kedua shalat tersebut di
kerjakan di waktunya shalat dzuhur.
2. Jama’
Takhir
Ialah mengerjakan shalat di waktu
yang kedua. Semisal menjama’ shalat maghrib dengan isya’, maka kedua shalat
tersebut di laksanakan di waktunya shalat isya’
E. Syarat-syarat
Jama’
a.
Jama’ Taqdim
Syarat-syarat jama’ taqdim ada empat
yaitu:
1.
Tertib
Apabila musafir mau melakukan jama’
shalat dengan jama’ taqdim, maka dia harus mendahulukan shalat yang punya waktu
terlebih dahuli. Semisal musafir akan menjama’ shalat maghrib dengan isya’,
maka dia harus mengerjakan shalat maghrib terlebih dahulu. Apabila yang
terlabih dahulu adalah shalat isya’, maka shalat isya’nya tidak sah. Dan
apabila masih mau melakukan jama’, maka harus mengulangi shalat isya’nya
setelah shalat maghrib. Bahkan apabila setelah mengerjakan jama’ taqdim secara
berurutan, ia baru ingat bahwa shalat yang pertama tidak sah, maka secara
otomatis shalat yang kedua tidak di anggap, sebab dengan begitu ia berarti
tidak mengerjakan syarat jama’ taqdim yang berupa berurutan. Namun, menurut
pendapat yang shahih shalat tersebut di anggap sebagai shalat sunnat.
2.
Niat Jama’ Pada Waktu Shalat Yang Pertama
Apabila musafir hendak melakukan
shalat jama’ dengan jama’ taqdim, maka ia harus berniat jama’ pada waktu
pelaksanaan shalat yang pertama. Jadi, selagi ia masih ada dalam shalat yang pertama,
waktu niat jama’ masih ada. Namun, yang lebih utama, niat jama’ . bersamaan dengan takbiratul iharam.
Adapun bacaan niatnya:
a. Niat
Shalat Dzuhur di Jama’ Taqdim dengan Ashar
اصلى فر ض الظهر اربع ركعا ت مجموعا
با العصر جمع تقد يم مأ مو ما\اما ما لله تعا لى
Artinya: saya niat melakukan
shalat fardlu dzuhur sebanyak empat rakaat dikumpulkan dengan shalat ashar
dengan jama’ taqdim (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
b. Niat
Shalat Maghrib di Jama’ Taqdim dengan Isya’
اصلى فر ض المغر ب ثلا ث ر كعا ت
مجموعا با العشا ء جمع تقد يم مأ مو ما\اما ما لله تعا لى
Artinya: saya niat melakukan
shalat fardlu maghrib sebanyak tiga rakaat dikumpulkan dengan shalat isya’
dengan jama’ taqdim (menjadi makmum/imam) karena Allah Ta’ala.
3. Bersegera
(Muawala).
Maksudnya,
antara kedua kedua shalat tidak ada selang waktu yang dianggap lama oleh ‘uruf
(kebiasaan). Apabila dalam jama’ terdapat pemisah (renggang waktu)
Yang dianggap lama oleh ‘uruf,
seperti melakukan shalat sunnat, maka ia tidak dapat melakukan jama’.
4. Masih
Bersetatus Musafir Sampai Selesainya Shalat yang Kedua
Orang yang menjama’shalatnya harus
berstatus musafir sampai selesainya shalat yang kedua. Apabila sebelum
melaksanakan shalat yang kedua ada niat mukum, maka tidak boleh melakukan jama’
sebab udzurnya dianggap habis.
b. Jama’
Takhir
Syarat-syarat jama’ tkhir ada dua
yaitu:
1. Niat Jama’ di
Waktu Shalat yang Pertama
Waktu niat
dalam jama’ takhir ialah mulai masuknya waktu shalat yang pertama sampai
tersisa waktu kira-kira memuat satu rakaat. Misalnya yang akan di jama’takhir
adalah shalat dzuhur dengan ashar, maka niat jama’ takhir bisa dilakukan
mulai masuk waktu dzuhur sampai tersisa waktu satu rakaat. Jadi, apabila
seseorang yang hendak melakukan jama’ takhir, namun tidak niat jama’ sampai
waktu shalat yang pertama habis, maka orang tersebut berdosa dan shalat yang
pertama menjadi qadha’, bukan jama’.Pada saat melaksanakan shalat tidak perlu
berniat jama’ lagi, cukup niat jama’ yang sudah dilakukan pada waktunya shalat
yang pertama. Niat shalatnya seperti shalat biasa.
2.
Tetap Berada
Dalam Perjalanan Sampai Selesainya Shalat yang Kedua
Apabila sebelum selesainya shalat yang
kedua, ia berubah status manjadi mukim (baik dengan niat mukim di tengah-tengah
shalat atau ragu apakah niat mukim atau tidak) maka shalat yang pertama tidak
jadi dan harus di qadha’, hanya si musafir tidak berdosa.
F.
Jama’ Sebab
Hujan dan Sakit
a. Sebab
Hujan
Jika seseorang berada di suatu
masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka dibolehkan
menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar,
“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya
pada suatu malam yang diguyur hujan lebat.”
(HR. Bukhari)
Boleh jama’ sebab hujan namun hanya
jama’ taqdim, ini hanya diperuntukan bagi orang yang shalat berjama’ah disuatu
tempat baik berupa masjid, musholla, dan sekolah yang jauh dari kediamannya.
في الصحيحي عن ابن عبا س
رضي الله عننهما انه صلى الله ععليه وسلم صلو با المد ينة سبعا جماء وثما نية
حميعا الظهرو والعصر والمغربوالعشاء
Di dalam sahih Bukhari Muslim diriwayatkan dari Ibnu
Abbas r.a.
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW shalat
di Madinah tujuh rakaat dengan dijama’ dan delapan rakaat dengan dijama’.
و
فى روا ية المسلم من غير حو ف ولا سفر
“Dan didalam riwayat Imam Muslim
terdapat tambahan bukan karena takut (huf) dan bukan karena bepergian (safar)”.
قا
ل اما م ما للك ارى ذا لك لابعين المطر
“Imam Malik berkata, Shalat Nabi
tersebut disebabkan oleh udzur yaitu hujan”.
( Syeikh Zakaria
al-Ansari,Tuhfatu thulab:30)
b.
Sebab Sakit
Sakit
merupakan cobaan dan ujian manusia, dan apabila seseorang sabar dalam
menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya,
sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’, karena bagi orang yang
sakit diperbolehkan menjama’ shalat, karena bagi orang yang sakit rasa kesulitan
untuk melakukan shalat, lebih susah dibandingkan dalam keadaan hujan, kasus
lain misalnya wanita yang sedang istihadhah (yang darahnya keluar secara terus
menerus) sehingga kesulitan untuk terus menerus berwudhu’, maka bagi mereka
dibolehkan untuk menjama’ shalat.
Berdasarkan beberapa kasus di atas. Maka imam Ahmad,
al-Qadhi Husen, al-Khath-thabi dan Mutawalli dari golongan Imam Syafiiyah,
membolehkan orang yang sedang sakit untuk menjama’ shalatnya, baik jama’ taqdim
maupun jama’ ta’khir, karena kesulitan sakit lebih berat dari pada karena
hujan.
“ Jika engkau
mampu mengakhirkan shalat dzuhur dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau
mandi setelah bersuci, dan engkau menggabungkan shalat dzuhur dan shalat ashar,
kemudian engkau mengakhirkan sholat maghrib dan menyegerakan shalat isya,
kemudian engkau mandi dan menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah“
Berkata Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah:
الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين
والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز
الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر.
قال النووي: وهو قوي في الدليل.
“Menjamak
Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al
Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim
atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding
hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.” (al-Mughni;2:120, Fiqhus
Sunnah;2:230)
G. Pengertian Shalat Qashar
"اختصا ر
اصلاة الر با عيته الى ر كعتين"
(Meringkas shalat empat
rakaat menjadi dua rakaat)
Apabila melihat difinisi diatas,
kita bias mengambil kesimpulan bahwa musafir yang sudah memenuhi persyaratan
untuk meng-qashar shalat hanya bisa meng-qashar shalat ruba’iyah (shalat yang
rakaatnya berjumlah empat) yaitu: shalat dzuhur, ashar, dan isya’. Sedangkan
shlat maghrib dan shubuh tidak bisa di qashar.
H. Hukum Shalat Qashar
قال
تعالى : واذا ضر بتم فى الار ض فليس عليكم جنا ح ان تقصروا من الصلاة ان خفتم ان
يفتنكم الذين كفر وا
Artinya:” Dan
apabila kalian bapergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian mengqashar
shalat (kalian) jika kalian takut diserang orang-orang kafir”.
(An-Nisa’:101).
Diperkenankannya
qashar sebagaimana diterangkan ayat diatas diberi batasan (qayyid) bila ada
perasaan takut diserang oleh musuh.
Adapun
hadits yang menjelaskan masalah ini:
·
Ya’la
bin Umayyah meriwayatkan, “Aku bertanya kepada Umar bin Khatab, ‘Bagaimana
pendapatmu tentang mengqashar shalat jika dihubungkan dengan fijrman Allah
diatas?’ Umar menjawab, ‘Apa ynag kamu kemukakan itu juga menjadi pertanyaan
bagiku sehingga (masalah ini) aku sampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau
pun bersabda,
صدقة
تصد ق الله بها عليكم فا قبلوا صد قته
“(Keringanan
itu) merupakan sedekah yang dikaruniakan Allah kepada kalian, maka
terimalah sedekahn-Nya itu”.( Muslim: Shahih Muslim, Shalah al-Musafirin, jilid 1, hlm 478).
I. Syarat-syarat Qashar
Qashar shalat bisa dilakukan aapabila
telah memenuhi delapan syarat:
1. Perjlanan Jauh (سفر
طو يل)
Adalah
perjalanan yang mencapai jarak 2 marhalah 16 farsakh (48 mil) atau
lebih, jika di ukur dengan ukuran modern, maka kalangan ulama’ berbeda pendapat
sebagiamana berikut:
·
Menurut
mayoritas ulama’,2 marhalah/16 farsakh adalah 119,99988 Km=120 Km.
·
Menurut
kyai ma’shum ialah 94,5 Km.
·
Menurut
Imam Al-Jurnadi dalam fath al-‘allam 89,40 Km.
·
Menurut
Majd al-Hamawi 82,5 Km.
·
Menurut
Syaikh Daib al-Buqha 81 Km.
·
Menurut
Syaikh al-Kurdi dalam Tanwir al Qulub 80,640 Km.
Perjalanan
sejauh dua marhalah ini tidak meninjau waktu dengan artian, apabila
Jarak dua
marhalah bisa di lalui dalam waktu yang singkat, musafir tetap diperbolehkan
mengqashar shalatnya. Demikian pula penghitungan jauh tersebut diukur
keberangakatannya saja, tidak dihitung dengan pulangnya.
Selain
jauh perjalanan harus mencapai ukuran yang telah disebutkan di atas, pun pula
kepergiannya harus memiliki tujuan yang benar (ghardun shahih).
2. Tahu Bahwa Qashar Diperbolehkan (العلم
بجواز القصر)
Dengan
demikian, orang yang tidak tahu jika qashar itu diperbolehkan, maka qasharnya
tidak sah, sebab dianggap tala’ub atau hanya sekedar bermain-main dalam
melaksanakan ibadah. Seperti halnya orang yang hanya sekedar ikut-ikutan
melaksanakan shalat dua rakaat mengikuti orang lain yang juga shalat dua
rakaat.
3. Perjalanan Mubah (السفر
المباح)
Perjalanan
mubah ini mencakup pada perjalanan yang wajib, sunnah, dan makruh. Apabila perjalanan musafir perjalanan
maksiat, maka ia tidak diperkenankan untuk melaksanakan qashar shalat.
الرخص
لا تنا ط با المعا صى
Rincian
musafir yang tergolong maksiat ada tiga:
a.
العا
صى با لسفر
Artinya
adalah tujuan pokok atau sebagian besar dari perjalanan tersebut untuk
maksiyat. Seperti tujuan mau melihat konser, bermain togel, atau sebagaimana
orang perempuan yang keluar rumah dalam keadaan nusyuz (menentang
suaminya).
b. العا صى با السفر فى السفر
Adalah
orang yang bepergian dengan tujuan baik namun di tengah perjalanan niatnya
berubah menjadi maksiyat. Seperti orang yang bepergian untuk silaturrahim,
namun di tengah perjalanan niatnya berubah untuk membeli togel. Musafir seperti
ini tidak diperbolehkan melakukan qashar shalat kecuali apabila ia bertaubat,
meskipun sisa perjalanannya tidak mencapai 16 farsakh.
c. العا صى فى السفر
Adalah
orang yang bepergian dengan tujuan baik namun di tengah perjalanan melakukan
kemaksiyatan tanpa merubah niat asal.seperti orang yang bepergian untuk mencari
ilmu, namun di tengah perjalanan dia minum khomer, maka musafir ini
diperbolehkan melakukan qashar shalat secara mutlak.
(Syaikh
Zakaria al-Ansari,Tuhfatut thullab:30 )
4. Memiliki Tujuan Yang Jelas (قصد
محل معلوم)
Artinnya
musafir diperbolehkan melaksanakn qashar apabila memiliki tujuan yang jelas
dalam perjalanannya, dan tahu bahwa rempat yang dituju mencapai jarak masafah
al-qashari, walaupun tidak menentukan tempat tujuan secara khusus. Seperti
halnya orang Sampang hendak pergi ke Pasuruan, dimana orang tersebut tahu bahwa
jaraknya sudah mencapai 16 farsakh, meskipun si musafir tdak menentukan
Pasuruan bagian mana yang dituju.
Apabila
misafir bepergian tanpa ada tujuan yang jelas, maka musafir ini tidak boleh
melakukan qashar meskipun perjalanannya sudah mencapai jarak masafah
al-qashr.
5. Tidak Berma’mum Pada Orang Yang
Menyempurnakan Shalatnya
Disyaratkan tidak berma’mum pada:
·
Orang
yang menyempurnakan shalatnya, baik musafir atau mukim.
· Musafir lain yang masih diragukan(apakah
shalatnya diqashar/tidak)
Musafir
yang bermakmum terhadap salah sati dari dua tipe orang tersebut itu , meskipun
hanya dalam sebagian rakaat,tetap berkewajibkan untuk menyempurnakan shalatnya.
Namun apabila ia berma’mum pada musafir yang masih diragukan, apakah ia
mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya)? Dan si ma’mum
menggantugkan niatnya seperti akan qashar apabila imam qashar, dan akan itmam
apabila imam itmam”, maka ia boleh qashar apabila imamnya qashar, tapi apabila
imamnya itmam, maka ia harus itmam. Pertanyaannya, manakah yang lebih
utama antara qashar dan itmam?
Bagaimanapun
juga itmam (menyempurnakan shalat) lebih baik dari pada qashar, hal ini sesuai
dengan kaidah fiqh yang telah dirumuskan oleh para fuqoha’
ما
كا ن اكشر فعلا كا ن اكشر فضلا " “
‘ Suatu
ibadah yang lebih banyak pekerjaannya maka akan lebih banyak pula
keutamaannya’.
Kaidah ini
berlandaskan hadits Nabi yang di sabdakan kepada A’isyah r.a
اجر
ك على قد ر نصبك "“
Namun
ada beberapa keadaan, dimana musafir lebih baik mengqashar shalat dari pada
menyempurnakannya (itmam). Keadaan-keadaan tersebut yaitu:
Ø Perjalanan musafir telah mencapai tiga
marhalah. Sebab hukum ini keluar dari khilafnya ulama’ yang mewajibkan qashar
ketika perjalanan telah mencapai tiga marhalah.
Ø Hati musafir benci (enggan) terhadap di
syariatkannya qashar karena merasa janggal. Sebab kebiasaannya ia shalat
sebanyak empat rakaat.
Ø Hatinya ragu pada dalil diperbolehkannya
qashar.
Ø Musafir menjadi panutan orang lain
dengan artian, apabila dia mengerjakan qashar, maka orang lain akan
mengiktunya, begitu pula apabila ia tidak qashar orang lain juga tidak
melakukannya.
Maka
dalam kedaan seperti ini, lebbih baik musaafir melakukan qashar agar orang lain
tidak mendapatkan masyaqqah di sebabkab dirinya yang tidak melaksanakan
qashar. (Taqrirat al-Sadidah, 313).
6. Niat Qashar Ketika Takbiratul Ihram
Niat qashar shalat dzuhur
اصلى
فرض الظهر ركعتين قصرا مأْ موما \ اما ما لله تعا لى
Niat qashar shalat ashar
اصلى
فرض العصر ركعتين قصرا مأ موما \ اما ما لله تعا لى
Niat qashar shalat isya’
اصلى
فرض العشاء ركعتين قصرا مأ موما \ اما ما لله تعا لى
7. Tetapnya Perjalanan Sampai Selesainya
Shalat
Di
saat musafir melakukan shalat qashar, dia harus tetap berstatus sebagai orang
yang sedang melakukan perjalanan, tidak mukim, sehingga apabila
dipertengahannya shalatnya si musafir sudah tidak berstatus musafir lagi, baik
dengan niat mukim di tengah-tengah shalat atau ragu, apakah ia niat mukim atau
tidak, maka musafir tersebut wajib menyempurnakan shalatnya.
8. Menjaga Dari Hal-Hal Yang Dapat
Menafikan Niat Qashar
Musafir
yang melakukan shalat qashar harus
menjaga niat qasharnya selama ia shalat, sehingga apabila dalam
pertengahan shalatnya ragu, maka dia tidak boleh mengqashar shalatnya dan
seketika itu juga harus itmam(menyempurnakan shalat).
Begitu
pula apabila seorang musafir bermakmum, setelah mendapat dua rakaat, ternyata
imamnya bangun, dan si musafir ragu, apakah si imam bangun karena lupa untuk
menyempurnakan shalatnya. Dan dalam kasus seperti ini musafir tetap harus
menyempurnakan shalatnya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan-pembahasan tentang shalat jama’ dan qashar yang dapat kami simpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Boleh
jama’ sebab hujan namun hanya jama’ taqdim, ini hanya diperuntukan bagi orang
yang shalat berjama’ah disuatu tempat baik berupa masjid, musholla, dan sekolah
yang jauh dari kediamannya. Di dalam sahih Bukhari Muslim diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a.
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW
shalat di Madinah tujuh rakaat dengan dijama’ dan delapan rakaat dengan
dijama’.
Sakit
merupakan cobaan dan ujian manusia, dan apabila seseorang sabar dalam
menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya,
sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’,
“Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur,
menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan
Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran
sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan
hal itu kuat.” (al-Mughni;2:120, Fiqhus Sunnah;2:230)
2.
ما
كا ن اكشر فعلا كا ن اكشر فضلا " “
‘ Suatu ibadah yang lebih banyak pekerjaannya
maka akan lebih banyak pula keutamaannya’.
B. Saran
Bagi
para ulama’ dan para guru PAI khususnya untuk lebih menjelaskan secara detail
dan bisa dipahami oleh santri maupun siswa tentang masalah shalat jama’ dan
qashar.
DAFTAR
PUSTAKA
Sayyid Sabiq. Fiqh Ibadah. Darul
Fath. Jakarta. 2010
A. Qusyairi Isma’il. Fikih Safar untuk
Sang Pengelana. Pustaka Sidogiri. Pasuruan. 2005
Bahrullah Shadiq. Shalat itu Indah
dan Mudah. Pustaka Sidogiri.
Pasuruan. 2005
http://www.ajiersa.com/2016/08/makalah-jama-dan-qasar-sembahyang.html
ReplyDelete